FAS – Artikel ini membahas betapa naiknya tren Bisnis Pendidikan di Indonesia. Apakah itu positif atau negatif? Simak dibawah ini

Dalam beberapa dekade terakhir, sektor pendidikan di Indonesia telah berkembang pesat, baik dari sisi infrastruktur maupun kebijakan.

Namun, yang menarik untuk dicermati adalah bagaimana pendidikan di Indonesia perlahan-lahan berubah menjadi arena bisnis yang menguntungkan, menarik banyak pemain baru, termasuk perusahaan swasta, institusi asing, dan startup teknologi pendidikan.

Fenomena ini membuka pertanyaan: apakah pendidikan di Indonesia kini lebih tertuju sebagai komoditas ekonomi daripada hak fundamental?

Untuk mengkaji ini, kita dapat menggunakan pendekatan dari teori kekuasaan Michel Foucault.

Foucalt adalah seorang filsuf Prancis. Terkenal dengan analisisnya tentang hubungan antara kekuasaan, pengetahuan, dan kontrol.

Teori Kekuasaan Foucault: Pengetahuan dan Kekuasaan

Michel Foucault memiliki pandangan bahwa pengetahuan tidak pernah netral. Sebaliknya, pengetahuan selalu terkait erat dengan kekuasaan.

Kekuasaan menggunakan pengetahuan untuk mengatur, mengendalikan, dan mendisiplinkan masyarakat.

Dalam konteks ini, pendidikan menjadi salah satu alat utama dalam menjalankan kekuasaan.

Menurut Foucault, institusi pendidikan bukan hanya bertujuan untuk mendidik, tetapi juga untuk membentuk individu sesuai dengan norma-norma sosial, politik, dan ekonomi.

Dalam konteks Indonesia, pertanyaan yang muncul adalah:

  1. Siapa yang memegang kendali atas pengetahuan?
  2. Bagaimana hal tersebut digunakan untuk membentuk masyarakat?

Foucault mengajukan bahwa kekuasaan bekerja melalui institusi seperti sekolah dan universitas untuk mengontrol siapa yang memiliki akses terhadap pengetahuan dan bagaimana penyebaran pengetahuan itu.

Pendidikan Sebagai Komoditas: Fenomena Komersialisasi

Salah satu gejala yang paling mencolok dari kekuasaan oleh Foucault dalam konteks pendidikan modern adalah komersialisasi.

Di Indonesia, tren ini terlihat semakin menguat dengan berkembangnya sekolah-sekolah swasta, lembaga bimbingan belajar, serta universitas-universitas yang menawarkan program dengan biaya yang tidak murah.

Konsep pengetahuan sebagai “hak” mulai bergeser menjadi pengetahuan sebagai “komoditas” yang bisa diperjualbelikan.

Fenomena ini bisa dilihat dari banyaknya:

  1. Sekolah Internasional dan Swasta Berbiaya Tinggi: Institusi ini menawarkan standar pendidikan yang dianggap lebih baik daripada sekolah negeri, namun dengan biaya yang sangat mahal. Akses terhadap pengetahuan berkualitas menjadi eksklusif bagi kelompok masyarakat dengan daya beli tinggi.
  2. Peningkatan Startup Edukasi: Startup teknologi pendidikan atau “edtech” tumbuh pesat di Indonesia, didorong oleh digitalisasi dan pandemi COVID-19. Meskipun menawarkan akses yang lebih luas, produk mereka seringkali tetap menargetkan kalangan menengah ke atas yang mampu membayar untuk layanan premium.
  3. Bimbingan Belajar yang Mahal: Fenomena bimbingan belajar (bimbel) juga menjadi sorotan. Dengan biaya yang tidak murah, bimbel menjanjikan kesuksesan dalam ujian masuk perguruan tinggi, menguatkan pandangan bahwa kesuksesan akademis bisa dibeli.

Dalam pandangan Foucault, hal ini mencerminkan bagaimana pengetahuan telah menjadi alat kekuasaan ekonomi.

Selain itu, di mana pihak yang memiliki modal bisa mengendalikan akses terhadap pengetahuan, masa depan sosial dan ekonomi individu.

Standardisasi dan Pengendalian: Ujian Nasional dan Kebijakan Pendidikan

Foucault juga berbicara tentang bagaimana kekuasaan menggunakan mekanisme tertentu untuk mendisiplinkan dan mengontrol masyarakat.

Salah satu penggunaan mekanismenya adalah standar pendidikan, seperti ujian nasional yang dulu sangat dominan di Indonesia.

Ujian nasional ini bukan hanya alat evaluasi, tetapi juga instrumen kekuasaan untuk menentukan siapa yang “berhak” melanjutkan jenjang belajar dan siapa yang tidak.

Dalam kerangka Foucault, ini bisa dipandang sebagai teknik pengawasan dan disiplin yang diinstitusionalisasi.

Dengan adanya standarisasi ini, kurikulum menjadi sangat seragam, dan kreativitas atau potensi lokal seringkali terabaikan.

Guru-guru dan siswa berada di bawah tekanan untuk memenuhi standar. Seringkali tanpa memperhatikan konteks sosial dan budaya lokal.

Dengan demikian, pengetahuan bukan hanya metode, tetapi juga alat untuk menciptakan individu yang sesuai dengan keinginan kekuasaan yang lebih besar.

Siapa yang Mengendalikan Data?

Seiring berkembangnya digitalisasi pendidikan, muncul persoalan baru terkait siapa yang memiliki dan mengontrol data.

Dalam beberapa tahun terakhir, banyak institusi pendidikan, baik formal maupun non-formal, yang mengadopsi platform digital sebagai bagian dari proses pembelajaran.

Namun, data yang terkumpul dari proses ini seringkali dikelola oleh perusahaan swasta, termasuk perusahaan asing.

Dalam perspektif Foucault, penguasaan atas data ini adalah bentuk baru dari kekuasaan.

Mereka yang memiliki akses terhadap data pendidikan bisa menggunakan informasi tersebut untuk mengendalikan narasi, memengaruhi kebijakan, atau bahkan menentukan tren pembelajaran di masa depan.

Hal ini bisa berisiko memperlebar kesenjangan antara kelompok yang memiliki akses terhadap teknologi dengan yang tidak.

Kesenjangan Pendidikan: Kekuasaan yang Tak Terlihat

Foucault juga mengajarkan kita untuk melihat bentuk-bentuk kekuasaan yang tidak selalu tampak di permukaan.

Di Indonesia, meskipun terdapat kebijakan pemerintah untuk memperluas akses pendidikan, masih ada kesenjangan besar antara daerah perkotaan dan pedesaan.

Banyak daerah terpencil yang belum memiliki infrastruktur belajar memadai. Sementara di kota-kota besar, pilihan tempat belajar sangat beragam, namun dengan biaya yang tinggi.

Kesenjangan ini menunjukkan bahwa ada kekuasaan tak terlihat yang bekerja dalam struktur pendidikan Indonesia,

Selain itu, faktor ekonomi, geografis, dan politik menjadi pengaruh terhadap akses pengetahuan.

Pemerintah mungkin berusaha mempromosikan pendidikan untuk semua. Tetapi dalam praktiknya, media belajar yang berkualitas masih menjadi hak istimewa bagi sebagian kecil masyarakat.

Kesimpulan

Dengan menggunakan teori kekuasaan Foucault, kita bisa melihat bahwa pendidikan di Indonesia bukan hanya soal transfer pengetahuan, tetapi juga tentang kontrol, pengaruh, dan kekuasaan.

Pendidikan telah menjadi ladang bisnis yang menguntungkan bagi banyak pihak, namun di sisi lain, hal ini juga memperdalam ketidaksetaraan sosial.

Pendidikan merupakan aset terpenting dalam membangun peradaban. Dasar dan nilai pengetahuan secara formal tidak boleh bercampur dengan kepentingan kekuasaan.***

Ilustrasi mengambil di Pxhere