
Ilustrasi Keputusan "Plagiarisme or No?" (Dok by Pxhere)
FAS Media – Fenomena plagiarisme di kalangan mahasiswa semakin menjadi sorotan, memunculkan tantangan serius terhadap integritas etika akademik.
Praktik menyalin karya orang lain tanpa atribusi yang layak, merupakan problematika yang notabene analisanya bisa melalui lensa etika deontologi Immanuel Kant.
Deontologi Kant menekankan pentingnya tindakan yang berlandaskan kewajiban moral dan niat baik, terlepas dari konsekuensinya.
Etika, sebagai ilmu yang mengkaji baik dan buruknya perilaku manusia, memiliki peran krusial dalam kehidupan bermasyarakat dan dalam setiap bidang keilmuan, termasuk akademik.
Dalam konteks etika akademik, plagiarisme jelas merupakan tindakan yang tidak etis. Immanuel Kant, seorang filsuf Jerman yang pemikirannya sangat berpengaruh, mengajukan etika kewajiban atau deontologi.
Menurut Kant, suatu tindakan baik bukan berdasarkan hasil atau tujuannya, melainkan berdasarkan kehendak baik atau niat baik dalam pelaksanaannya.
Plagiarisme Tantangan Akademik
Menurut Kant, perbuatan hanya memiliki nilai moral jika landasannya semata-mata karena kewajiban moral, bukan demi keuntungan pribadi atau hasil akhir.
“Jika seorang mahasiswa menulis karya ilmiah hanya untuk mendapat nilai tinggi, bukan karena kesadaran akademik dan integritas intelektual, maka tindakannya tidak memiliki nilai moral,” jelas Atika Yulanda, penulis Analisis Kritis Etika Immanuel Kant dan Relevansinya dengan Etika Islam.
Etika Kant menuntut setiap manusia untuk bertindak berdasarkan prinsip yang dapat dijadikan hukum universal.
Dalam konteks plagiarisme, ini berarti: jika semua orang menyontek, maka kredibilitas akademik akan runtuh. Oleh karena itu, tindakan tersebut secara moral tidak dapat dibenarkan.
Akademisi dari Universitas Islam Kediri, Dr. Nurdin Arif, menegaskan bahwa “Plagiarisme bukan sekadar tindakan menyalahi aturan kampus, tapi juga bentuk pengingkaran terhadap tanggung jawab intelektual sebagai insan akademik.”
Lebih jauh, etika Kant menolak menjadikan orang lain sebagai alat. Dalam praktik plagiarisme, mahasiswa seringkali menjadikan penulis asli sebagai “alat” untuk mendapatkan pujian atau nilai tanpa menghormati hak dan kontribusi intelektualnya.
Ini bertentangan dengan prinsip Kant yang menyatakan bahwa setiap orang harus diperlakukan sebagai tujuan, bukan sebagai alat semata.
Krisis Integritas di Era Digital
Di era AI dan internet, mahasiswa semakin mudah mengakses dan menyalin berbagai sumber tanpa menyadari dampak etikanya.
Beberapa bahkan menggunakan layanan penulisan ilegal untuk menyelesaikan skripsi.
Menurut laporan LLDIKTI Wilayah VII Jawa Timur tahun lalu, lebih dari 17% tugas akhir mahasiswa terindikasi memiliki unsur plagiarisme ringan hingga berat.
Maka, meskipun hasil akhir tugas terlihat “bagus”, jika pencapaiannya melalui plagiarisme, tindakan itu tetap keliru secara moral.
Say No Plagiarisme: Bangun Etos Akademik Berbasis Moral
Solusi dari krisis plagiarisme tidak cukup hanya dengan software pendeteksi seperti Turnitin. Penting adanya penanaman nilai moral sejak dini, termasuk pemahaman filsafat etika seperti deontologi Kant. Urgensinya adalah mendorong mahasiswa untuk menulis berdasarkan kesadaran, bukan karena paksaan.
“Etika kewajiban Kant sangat relevan diterapkan dalam dunia pendidikan tinggi. Mahasiswa perlu ikut untuk berpikir kritis tentang niat di balik tindakannya, bukan hanya hasil akhirnya,” kata Atika Yulanda dalam penelitiannya.
Plagiarisme bukan sekadar pelanggaran teknis, melainkan krisis moral yang menuntut perhatian serius. Mengintegrasikan etika Immanuel Kant ke dalam sistem pendidikan dapat menjadi solusi jangka panjang untuk membangun generasi akademik yang jujur dan bertanggung jawab.***
Untuk referensi bisa klik Jurnal ini.